Annyeong...

mannaso pangabsumnida

5.21.2009

Koridor: Past Present Future


Sial! Mulutnya tak henti merutuk sementara kaki-kaki terlatihnya tak berhenti berlari sedikitpun di sepanjang koridor. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka berdua sebelumnya. Apa dua orang itu sama-sama tak punya otak? Atau memang merasa punya lebih dari satu nyawa untuk dihantarkan? Ah apapun alasannya, rasanya tetap saja tak adil untuk mengorbankan keselamatan orang lain. Sudah tahu berbahaya, masih saja sok pasang aksi. Mau cari mati kalian? Tapi—ah, sudahlah. Lihat saja ke depan. Jangan banyak bicara. Bukannya sekarang dia juga bodoh, ikut-ikutan keluar dari kompartemen yang sudah jelas-jelas aman dan malah meninggalkan Haley bersama dengan [i]Si Banci[/i] dan Ellena saja? Ini semua memang gara-gara Dutie bebek. Dasar tak punya otak. Kalau ia tak nekat keluar, pasti Mary takkan mengejarnya. Dan kalau Mary tak nekat keluar karena mengejar si Dutie, Ellena dan Haley pastilah takkan merengek minta dirinya supaya mengejar dua orang itu. Hah! Dasar gadis-gadis, kalau satu sudah tak ada diantara mereka, pastilah yang lain sibuk berkoar-koar. Menyusahkan saja.
[right][i]Hei, kau. Bisa diam tidak! Berhenti merutuk. Berisik![/right][/i]

Nah lho—bahkan kini dirinya tak lagi berteman dengan dirinya sendiri. Hah? Bingung—
Ok, sampai mana tadi? Ah ya—ia sibuk berlari di sepanjang koridor. Mencari sosok Mary di teng—

[i]Kodok Bunting![/i]

Apa-apaan ini? Matanya terbelalak, hampir saja meloncat keluar. Ah—iya. Ia tahu pasti, keadaan memang sedang sangat amat gawat sekali. Dementor, Pelahap Maut, dan apapun lah itu, sedang menyerang Hogwarts Express. Membuatnya berhenti bekerja. Dan dengan suksesnya menerobos masuk dan menimbulkan kepanikan luar biasa di kalangan siswa. Tapi—ini—ah, berlebihan. Tangannya refleks mencengkram erat Reednya, tak pernah sedikitpun berfikir ia akhirnya akan berada di tengah kerusuhan ini. [i]Sedikit sih tadi—[/i]. Kelebatan cahaya dari masing-masing tongkat yang tak jelas lagi milik siapa saling merapal mantra. Entah jelas atau tidak korban yang dituju, namun tetap saja saling membahayakan jiwa. Sesaat ia hanya bisa berdiri terpaku di tempatnya. Pilihannya sama saja kan. Tetap berdiri bagai orang bodoh atau maju seperti pahlawan kesiangan sama-sama bukan pilihan yang menyenangkan. Siapa yang menjamin tak kan ada dementor busuk atau pelahap maut yang bisa tiba-tiba berdiri di belakangnya. Atau, siapa yang menjamin dirinya tak kan terkena mantra nyasar kalaupun merangsek maju. Iihh—ia bergidik memikirkan dua kemuangkinan yang sama-sama tak ada bagusnya itu.

Ah—Sial kau Dutie!

Ah—matanya menangkap bayangan Dutie yang se—

[big]Apa dia sudah gila???[/big]

Sinting! Dutie sinting. Apa yang dipikirkannya? Membantu Pelahap Maut? Kakinya spontan melangkah—untuk kemudian terhenti lagi dengan paksa. Tak kurang dari lima tau bahkan lebih siswa yang beramai-ramai mengeroyoknya. Saling merapal mantra. Wah, bisa mampus dia kalau begini ceritanya. Dia memang seteru abadinya, dan akan terus begitu. Kalau bukan karena Mary, ia takkan berlari mengejarnya. Berusaha menyelamatkannya? Hah, lucu sekali, kau Joong!

[color=grey]“PROTEGO!”

“Expelliarmus!”[/color]

Lagi? Untuk Dutie? Ah—tampaknya ia salah. Dilihatnya ada dua orang prefek yang duluan menyelamatkan Dutie. [i]Kali ini kau selamat, Bebek.[/i] Sambil berusaha bertahan di tengah kekacauan yang makin menjadi dan melindungi diri, ia melangkah maju, mendekati Rosemary. [color=grey] "Idiot, apa yang kau lakukan. Lain kali pakai otakmu”[/color]. Hah? Sejak kapan Mary berubah jadi galak? Ia baru tahu kalau gadis ini bisa membentak. [color=grey]"Maaf, biarkan saya membawanya kembali ke kompartemen”[/color]

[b]”Bersamaku, Mary.”[/b] tambahnya cepat sambil menepuk pelan bahu gadis itu. [b]”Tolonglah.”[/b], katanya pada kedua prefek itu sambil memandang Dutie. [i]Ingatkan ia untuk menginjak-injak anak ini setibanya di kompartemen nanti.[/i]

No comments: